Fenomena Hari Valentine memang telah berlangsung lama. Orang-orang di seluruh dunia menjadikannya sebagai momen untuk mengekspresikan kasih-sayang di hari itu. Perayaan Hari Valentine telah menjadi semacam budaya global yang bersifat deteritorial. Meski mungkin dengan cara yang berbeda-beda, orang-orang yang merayakannya percaya bahwa Hari Valentine merupakan momen spesial untuk mengungkapkan rasa kasih-sayang mereka terhadap orang-orang terdekat, khususnya pasangan mereka.
Dilihat dari berbagai karakteristiknya, perayaan Hari Valentine dapat dipandang sebagai salah satu dari sekian banyak kebudayaan populer. Lalu, apa yang salah dari kebudayaan populer? Dalam pendekatan kritis, kebudayaan populer atau popular culture merujuk pada term populer itu sendiri yang dalam skema pemikiran Raymond Williams (1983: 237) dapat dipahami dalam empat makna. Pertama, ia segala sesuatu yang disukai banyak orang. Inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa banyak orang yang mempraktikkannya tanpa melihat aspek historis sebuah kebudayaan.
Kedua, sesuatu yang bersifat inferior. Inferioritas dalam konteks ini adalah status kebudayaan itu sendiri yang merupakan oposisi biner dari high-culture. Dengan kata lain, kebudayaan populer adalah salah satu bentuk dari low-culture yang demikian mudah dipraktikkan dan direproduksi dalam berbagai bentuk.
Ketiga, sesuatu yang secara sengaja diatur untuk meraih dukungan orang lain. Dalam konteks ini, kebudayaan populer lebih merujuk pada karakter kebudayaan yang dipraktikkan lebih merujuk pada kuantitas pelaku kebudayaan, bukan kualitas kebudayaan itu sendiri.
Dan keempat, kebudayaan yang diciptakan oleh manusia untuk kepentingan dirinya sendiri. Meski terlihat masih serupa dengan yang ketiga, namun karakter yang keempat ini lebih mengarah pada kepentingan manusia itu sendiri sebagai subjek. Subjek yang dimaksud adalah mereka yang memiliki kontrol kekuasaan sehingga kebudayaan populer tidak lain merupakan manifestasi dari kepentingan kekuasaan mereka. Konsekuensinya, kebudayaan populer adalah kebudayaan yang pseudo-substantif alias kebudayaan dengan makna semu.
Kata kasih-sayang yang menjadi tagline di Hari Valentine ini sesungguhnya sebuah tanda yang telah mengalami dekonstruksi sedemikian rupa sehingga makna substantif tentang kasih-sayang diarahkan pada sejumlah produk. Maka, tidaklah mengherankan jika Hari Valentine banyak dituding sebagai agen dari advanced capitalism, terutama oleh kalangan kritis.
Sumber : mangozie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar